Rabu, 04 Desember 2013

BUDIDAYA ANGGREK



Indonesia memiliki keanekaragaman anggrek spesies yang sangat besar, diperkirakan sekitar 5.000 jenis anggrek. Spesies anggrek tersebar di hutan-hutan Indonesia. Keadaan ini merupakan potensi yang sangat berharga bagi perkembangan anggrek di Indonesia, terutama berkaitan dengan sumber daya genetik anggrek yang sangat diperlukan untuk menghasilkan anggrek-anggrek silangan yang baik dan unggul. Salah satu alternatif untuk melestarikan keanekaragaman anggrek adalah melakukan perbanyakan melalui metode kultur jaringan. Dengan kultur jaringan, kita dapat melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan anggrek yang tidak dapat dilakukan secara konvensional. Dengan kultur jaringan juga dapat dilakukan perbanyakan anggrek dengan jumlah banyak dan dalam waktu singkat. Selain itu bisa dihasilkan anggrek yang memiliki sifat sama dengan induknya dan pertumbuhannya relatif seragam.
Pembuatan Media (untuk 1 liter media)
Ø Alat dan bahan
1.    Satu buah pisang ambon (diambil 150 g)
2.    Air kelapa (150 ml)
3.    Gula pasir
4.    Agar (8 g)
5.    pH meter/ pH stick
6.    Aquadest
7.    Hotplate + magnetic stirrer/kompor+panci kecil+pengaduk
8.    Botol-btol steril
9.    Autoclave

Ø Cara Kerja
  1. Pisang sebanyak 150 g dihaluskan.
  2.   Disiapkan aquadest sebanyak 500 ml, dimasukkan ke dalam beaker ukuran 1 liter atau panci kecil jika menggunakan kompor 
  3. Ditambahkan pisang yang sudah dihaluskan, air kelapa sebanyak 150 ml, dan gula pasir sebanyak 20 g 
  4. Pemanas dan magnet dinyalakan (jika menggunakan magnetic stirrer ) atau kompor dan diaduk perlahan sampai gula larut
  5. Pemanas atau kompor dimatikan dan diukur pH media. pH seharusnya sekitar 5,8 jika terlalu basa atau asam maka tambah HCL atau NaoH untuk mendapatkan pH 5,8
  6.  Larutan media ditambah aquadest hingga mencapai volume 1 liter
  7.  Larutan media dipanaskan sampai mendidih kemudian dituangkan ke dalam botol-botol yang sudah steril
  8.  Botol-botol yang sudah diisi media ditutup dan disterilisasi di dalam autoclave selama 15 menit pada suhu 121OC.

Sterilisasi Buah Anggrek
Ø Bahan dan alat
1.    Buah anggrek yang sudah masak (tapi belum pecah)
2.    Bunsen
3.    Alkohol 70%
4.    Pinset
5.    Kapas
6.    Petridish steril
7.    Kertas saring steril

Ø Cara kerja :
  1. Buah anggrek dibersihkan /dilap dengan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol 70 %. Cara lain adalah dengan mencuci dengan detergen atau sunlight kemudian dibilas dengan air mengalir 
  2. Buah anggrek dibawa masuk ke laminair air flow cabinet (LAF) dengan petridish steril, pinset steril, alkohol 70 % dalam botol, dan bunsen. 
  3. Bunsen dinyalakan di dalam LAF 
  4. Buah anggrek dicelupkan di dalam alkohol, diangkat sampai sisa alkohol tidak menetesm kemudian dibakar di atas api bunsen. Dilakukan 3 kali. 
  5. Buah anggrek siap untuk dibelah dan ditanam bijinya.

Penanaman/Penaburan Biji Anggrek Secara In Vitro
Ø Alat dan bahan
1.    Buah anggrek yang sudah steril
2.    Media perkecambahan/media kultur
3.    Skalpel steril
4.    Pertridish steril
5.    LAF (laminair air flow)
6.    Alkohol 70%
Ø Cara kerja
1.      Bunsen dinyalakan
2.      Buah anggrek yang sudah disterlisasi, dibelah dengan scalpel steril
3.      Biji diambil dengan scalpel steril dan ditabur di atas media yang sudah steril
4.      Botol media ditutup lagi dan disimpan di rak-rak inkubasi pada suhu 24-26oC. Pemeliharaan di dalam botol dilakukakan dengan menjaga kebersihan ruang penyimpanan  (ruangan tertutup) dan bila perlu dilakukan  penyemprotan dengan menggunakan alkohol 70% seminggu sekali pada bagian luar botol.
5.      Pengamatan dilakukan pada perkecambahan biji dan perkembangan protokorm anggrek.

Proses Perkecambahan Anggrek
1.    Air terimbibisi ke dalam biji melalui testa dan biji terlihat membengkak
2.    Setelah pembelahan sel terjadi, embrio keluar dari kulit biji
3.    Struktur seperti protokorm (protokorm likes bodies= plb) terbentuk gumpalan sel
4.    Meristem tunas dapat dilihat pada plb
5.    Terjadi differensi jaringan, terlihat titik tumbuh atau meristem tunas di satu sisi dan meristem akar (rhizoid) di sisi yang lain. Pada saat ini pertumbuhan  menjadi lebih cepat.
6.    Dalam kondisi terang, protokorm menjadi hijau dan lebih banyak daun yang terbentuk. Klorofil juga semakin banyak terbentuk sehingga tanaman autotrof.
7.    Akar yang sebenarnya mulai terbentuk dan protokorm serta rhizoid (rambut akar) mulai hilang dan fungsinya digantikan oleh daun dan akar.

Aklimatisasi (Penyesuaian dengan lingkungan luar)
Aklimatisasi dilakukan dengan menggunakan anggrek dari dalam botol dengan cara menarik bibit anggrek satu per satu dengan menggunakan kawat atau memecah botol pada bagian pangkal botol. Pemecahan botol anggrek dilakukan  apabila kondisi tanaman di dalam pot sudah terlalu besar sedangkan mulut botol kecil, sehingga apabila mengeluarkan tanaman dengan cara ditarik menggunakan kawat dikhawatirkan tanaman tersebut akan patah dan mengalami kerusakan. Bibit anggrek botolan  dicuci supaya tidak ada  agar yang menempel pada bibit anggrek. Kemudian bibit anggrek botolan direndam dengan cairan fungisida lalu dikeringkan dengan meletakkan bibit anggrek di atas kertas koran. Satu anggrek botolan yang dikeluarkan kemudian ditanam dalam satu pot disebut compot (community pot). Kemudian tanaman yang telah remaja di dalam compot kemudian dipindahkan ke dalam single pot (pot tunggal/seeding) yang berisi pakis dibagian bawah dan arang di bagian atas pot sebagai media tanam agar bibit tanaman dapat tumbuh optimal.


Cara Mengembangkan dan Memperluas Pasar Tanaman
Pemasaran bisnis anggrek dilakukan di distribusikan ke tengkulak, lalu disalurkan ke pasar-pasar bunga, misalnya PASTI (Pasar Tanaman Hias) di Bantul. Selain itu bisa juga dengan mengikuti kegiatan pameran tanaman seperti Pekan Flora Flori Nasional yang diadakan di Yogyakarta. Melayani  pemesanan yang datang langsung ke kebun dengan memberi bonus  beberapa tangkai bunga kepada pembeli. Hal lain yang juga bisa dilakukan dengan mempromosikan  bisnis anggrek  melaui media online, baik itu berupa blog atau website maupun sosial media (Facebook, Twitter, Path dll). Kita juga bisa bergabung dengan komunitas pecinta tanaman hias agar produk tanaman budidaya  dapat dengan mudah dikenal orang
                                                                                        



Daftar Pustaka
Hendriyanti,Dessy, dkk. 2011. Wirausaha  Tanaman Anggrek Secara Kultur Jaringan.Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Kuswandi, Paramita  Cahyaningrum. 2012. “Manual Praktikum Perkecambahan Anggrek”. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/paramita-cahyaningrum-kuswandi-msc/manual-praktikum-anggrek.pdf . diunduh tanggal 8 November 2013. 
Kuswandi, Paramita Cahyaningrum  . 2012. “Budidaya Tanaman Anggrek”. http://staff.uny.ac.id/ sites/default/files/pengabdian/paramita-cahyaningrum-kuswandi-msc/ppm-anggrek-klaten-mita.pdf. diunduh tanggal 8 November 2013.
Sandra, Edi. 2003. Kultur Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta : Agromedia Pustaka.

EVOLUSI VERTEBRATA

PISCES


a.    Ikan Tak Berahang (Kelas Agnatha)
Vertebrata pertama yang ditemukan sebagai fosil adalah ikan tak berahang, ostrakodermi. Beberapa terdapat dalam batu-batuan Ordovisium, meskipun pada zaman Silur mereka terdapat dalam jumlah lebih banyak yaitu ikan pipih (15 sampai 30 cm). Hidup dengan dengan menghisap zat-zat organik dari dasar sungai. Pertukaran gas terjadi pada pasangan-pasangan insang interna, dengan tiap insang ditunjang satu lengkung tulang. Air masuk melalui mulut, melalui insang dan keluar melalui serangkaian kantung insang yang bermuara di permukaan. Tidak memiliki sirip dan ikan tersebut bergerak dengan gerakan undulasi. Satu-satunya ikan tak berahang yang sekarang masih hidup adalah Lamprey dan ikan hag (Hagfish). Hewan-hewan ini masih merupakan ikan primitif. Disamping tidak memiliki rahang dan tidak memiliki sirip berpasangan. Notokord dipertahankan selama hidupnya dan tidak pernah diganti secara sempurna dengan kerangka yang terdiri atas tulang rawan. Pada tubuhnya tidak terdapat sisik.
b.    Plakodermi
Plakodermi berbeda dengan moyang agnathanya dalam 2 hal yang mendasar, yaitu mempunyai rahang dan sirip yang berpasangan. Yang pertama membantu dalam memangsa hewan yang lebih kecil secara aktif. Kedua membantu lokomosi dengan menstabilkan  ikan tersebut di dalam air. Catatan fosil menggambarkan adanya radiasi adaptif yang ekstensif dari ikan ini pada zaman Devon. Sebagian besar dari ikan-ikan ini kemudian punah, tetapi beberapa diantaranya menghasilkan garis keturunan yang mengembangkan  dua kelas besar ikan masa kini yaitu, ikan tulang rawan) dan ikan tulang sejati (Osteichthyes). Zaman Devon ditandai dengan periode-periode ketika banyak danau dan sungai menjadi kering atau menjadi jauh lebih kecil dan lebih hangat. Perubahan lingkungan ini menyebabkan tekanan seleksi yang hebat pada ikan air tawar Zaman Devon.

c.    Ikan Bertulang Rawan (Kelas Chondrichthyes)
Ikan bertulang rawan yang paling awal adalah hiu yang tidak jauh berbeda dengan hiu masa kini, memperoleh namanya dari fakta bahwa kerangkanya terdiri atas tulang rawan dan bukan tulang keras. Ikan hiu mempunyai rahang yang berkembang dari kedua pasang pertama lengkung insang. Dalam hal ini, sepasang celah insang  tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, lubang ini masih terdapat pada beberapa ikan masa kini dan disebut spirakel. Di samping hiu, ikan pari, dan belut merupakan anggota kelas ini.
d.   Ikan Bertulang Sejati (Kelas Osteichthyes)
Ikan bertulang sejati menempuh cara mengatasi  masalah kekeringan yan terjadi secara berkala dengan mengembangkan sepasang kantung hasil perkembangan faring yang berfungsi sebagai paru-paru primitif. Ikan-ikan ini dengan cepat (masih dalam zaman Devon tepecah menjadi 3 kelompok berbeda yaitu paleoniskoida, ikan paru-paru dan krosopterigia.
Zaman  Devon dikatakan sebagai “Zaman Ikan” karena selama zaman ini terjadi radiasi adaptif yang luar biasa dari kelompok ini. Baik air tawar maupn air laut dihuni oleh mereka. Akan tetapi menjelang akhir zaman Devon timbullah kelompok vertebrata baru. kelompok ini adalah kelompok amfibia, vertebrata berkaki empat atau tetrapoda yang pertama.



AMFIBIA


Amfibia merupakan perintis verebrata daratan. Paru-paru dan tulang anggota tubuh yang mereka warisi dari moyang krosopterigia, memberikan sarana untuk lokomosi dan bernapas di udara. Atrium kedua dalam jantung memungkinkan darah yang mengandung oksigen langsung kembali ke dalamnya untuk dipompa kembali ke seluruh badan dengan tekanan yang penuh. Sementara pencampuran darah yang kaya oksigen dengan darah yang miskin oksigen terjadi dalam dalam ventrikel tunggal, jantung yang beruang 3 memberikan peningkatan yang berarti dalam efisiensi peredaran dan dengan demikian meningkatkan  kemampuan untuk mengatasi lingkungan daratan yang keras dan lebih banyak berubah-ubah.
Amfibia telah mengembangkan telinga sederhana dari struktur yang diwarisinya dari moyang mereka. Spirakel tertutup dengan membran yang berfungsi sebagai gendang telinga dan tulang rahang yan tidak terpakai lagi (berasal dari lengkung insang agnatha) berguna untuk meneruskan getaran dari membran ini ke telinga dalam.
Amfibia yang paling awal adalah Diplovertebron, panjangnya  cm. Beberapa contoh fosil berukuran  cm. Amfibia ini hanya berjaya selama zaman Karbon. Bumi ditutupi oleh rawa yang luas, kehidupan tumbuhan yang berlimpah, dan terdapat banyak insekta untuk di makan oleh amfibia. Zaman ini sering disebut zaman Amphiba. Zaman ini diikuti oleh  suatu periode  (Permian) ketika bumi menjadi lebih dingin dan lebih kering.  Penurunan kejayaan amfibi terjadi yang berlangsung terus sampai sekarang. Pada waktu ini hanya tertinggal tiga ordo ialah : (1) katak dan bangkong (ordo Anura), (2) Salamander dan kadal air (newt) (ordo Urodela), (3) Sesilia (ordo Apoda), yang merupakan  hewan seperti cacing dan tanpa kaki. Karena tidak mempunyai kulit dan telur yang kedap air, maka tak ada satu amfibia pun yang dapat menyesuaikan sepenuhnya dengan keadaan daratan.

 

REPTIL


Reptilia adalah hewan pertama yang benar-benar hewan daratan. Reptilia berkembang dari amfibia pada zaman Karbon. Kelebihan reptilia yang paling awal “Kotiloaurus” terhadap amfibi adalah
  • Perkembangan telur yang bercangkang dan berisi kuning telur (yolk) yang dapat diletakkan di tanah    tanpa kemungkinan menjadi kering
  • Cangkang kedap air dan kedap terhadap sperma, sehingga perkembangan telur yang bercangkang terjadi bersamaan dengan perkembangan fertilisasi internal.
  • Embrio dilindungi oleh cairan yang terdapat dalam amnion, mendapat makanan dari kantong kuning telur (yolk), bernapas melalui korion dan alantois, dan menyimpan limbah metabolisme di dalam kantong yang dibentuk oleh alantois.
 

Reptilia paling awal, yang kakinya pendek  menjulur ke samping tubuh, menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam air dan hanya bertelur di darat sehingga mudah disembunyikan dari mangsa.  Seiring semakin keringnya zaman Permian, modifikasi lain untuk hidup di daratan kering berevolusi. Perkembangan kulit kering memungkinkan mereka untuk meninggalkan air dengan aman. Tetapi kulit kering tidak dapat digunakan untuk respirasi. Penyempurnaan paru-paru dikembangkan dengan pembesaran rongga rusuk. Sekat ventrikel mengurangi pencampuran darah yang mengandung oksigen dengan darah yang kurang oksigen sehingga memungkinkan efisiensi peredaran darah. Kotilosaurus mengalami radiasi adaptif dan menghasilkan lima garis keturunan yang utama, yaitu:

  • Pelikosaurus, menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam air dengan kaki yang berada di bawah sehingga memungkinkan untuk berlari lebih cepat dan lebih ringan di darat. Dari pelicosaurus inilah berevolusi sekelompok reptil di darat yaitu terapsida. Pada awal zaman Mesozoikum terapsida merupakan reptilia yang paling banyak jumlahnya, tapi mereka segera dilampaui oleh kelompok lain. Namun, hal tersebut hanya bersifat sementara (juta tahun), karena keturunan terapsida yaitu mamalia, pada akhirnya menguasai bumi ini.
  • Penyu (Ordo Chelonia), dari asal-usulnya dalam era Mesozoikum awal sampai sekarang, sebagian besar penyu hidup di air tawar atau di lautan. Meskipun habitatnya demikian, mereka tidak meninggalkan warisan adaptasi darat mereka. Mereka bernapas dengan paru-paru dan meletakkan telur bercangkangnya di darat. Penyu air tawar merayap ke darat untuk membuat lubang dalam pasir atau tanah untuk bertelur. Meskipun tidak punah, penyu merupakan kelompok yang paling menonjol, karena masih ada setelah berada di bumi selama 200 juta tahun, dimana sebagian besar reptilia sezamannya telah punah.
  •  Plesisaurus dan  Iktiosaurus, merupakan anggota kedua garis keturunan reptilia laut yang berkembang dalam periode Jura tetapi punah pada akhir zaman Mesozoikum. Mereka pemakan ikan, hal ini  sesuai dengan kehidupan di laut. Namun kenyataanya, anggota tubuh yang menyelip di sirip sangat sesuai untuk lokomosi di darat sehingga iktiosaurus mempertahankan telur di dalam tubuh induk dan tidak bertelur di darat. Anak yang dilahirkan hidup dan aktif, seperti halnya ikan hiu berenang.
  • Diapsida, merupakan garis keturunan kelima dari iktiosaurus. Disebut diapsida karena mempunyai struktur tulang lengkung ganda yang khas di daerah temporal tengkorak. Diapsida mempunyai adaptasi fisiologis yang penting untuk hidup di darat yang tidak terdapat pada kelompok lain, yaitu kemampuan untuk mengubah limbah nitrogen menjadi asam urat yang hampir tidak dapat larut. Asam urat keluar sebagai pasta putih bersama feses. Kemampuan kelompok ini dan keturunannya mengekresikan limbah nitrogen  sehingga membebaskan mereka hampir seluruhnya dari ketergantungan pada air minum.
Evolusi kelompok reptilia ini diikuti beberapa cabang yang menghasilkan kadal dan ular (Ordo Squamata) dan sekelompok reptilia mirip kadal yang keturunannya masih ada (tetapi langkah) yaitu di Selandia Baru.
Kadal masa kini pertama kali timbul di periode Jura, merupakan penghuni penting gurun pasir dan hutan daerah panas. Satu kelompok kadal periode Kreta menjadi hewan meliang. Kaki-kaki hewan ini akhirnya lenyap dan dengan demikian terjadilah ular (sisa kaki belakang masih dapat ditemukan pada Boa dan Piton. Meskipun ular dapat bertahan hidup di daerah iklim sedang (temperate) dengan cara hibernasi selama musim dingin, tetapi mereka juga berhasil di daerah tropis dan subtropis.
Tekodon merupakan cabang kedua dari reptilia darat yang mengeksresikan asam urat. Hewan ini dapat berlari cepat di daratan dan menggunakan ekor yang panjang untuk keseimbangan. Fosil dari tekodon tingkat tinggi menunjukkan adanya penutup insulasi tubuh dan suatu histologi tulang yang menandakan bahwa hewan-hewan ini dapat mempertahankan suhu tubuh yang relatif tinggi dan teratur baik. Hal ini digabung dengan kecepatan dan toleransi terhadap keadaan gersang.
Lima ordo reptilia telah berevolusi dari tekodon. Anggota dari radiasi adaptif yang luar biasa ini sering disebut reptilia yang berkuasa karena mereka mendominasi seluruh tanah dan udara selama sisa era Mesozoikum.
Buaya dan aligator (ordo Crocodilia) meninggalkan lokomosi dengan dua kaki dari moyang tekodonnya tetapi mempertahankan kaki belakang yang besar. Hewan ini dapat bergerak cepat dengan mengangkat seluruh badannya di atas tanah. Hewan ini merupakan satu-satunya keturunan reptilia tekodon yang tidak pernah punah.
Pada akhir periode Trias, muncul 2 ordo dari dinosaurus yang masing-masing mengalami radiasi adaptif yang luar biasa. Selama sisa era Mesozoikum bumi dihuni oleh dinosaurus dar berbagai gambaran, ukuran dan bentuk. Penemuan dan pemasangan fosil dinosaurus merupakan cabang paleontologi yang palin aktif selama bertahun-tahun. Bila kita melihat kerangka yang elah direkontruksi dari hewan seperti Tyrannosaurus (panjang 14,5 m dan tinggi 5,8 m) dan Brachiosaurus (bobot mendekati 90 ton). Meskipun yang mewakili hanya 2 dari 15 ordo reptilia yang ada pada waktu itu, dinosaurus saja sudah membuktikan bahwa era Mesozoikum sebagai “Zaman Reptilia”.
Dua kelompok Mesozoikum tersebut menjadi reptilia terbang. Cara berjalan dengan dua kaki dari tekodon telah membebaskan kaki depan untuk digunakan sebagai sayap. Mulanya sayap ini digunakan untuk meluncur tetapi kemudian digunakan untuk terbang lama. Salah satu dari kelompok ini yaitu Pterosaurus, yang menguasai selama sebagian besar era Mesozoikum. Pteranodon dengan rentangan sayap 8,2 m diduga merupakan anggota terbesar dari ordo tersebut. Kemudian pada awal tahun 1970, fosil dari seekor pterosaurus dengan rentangan sayap 15,5 m ditemukan di Big Bend National Park di Texas. Kelompok kedua reptilia terbang merupakan moyang burung-burung sekarang.
 
AVES


Kelompok reptilia kedua yang mengudara mengembangkan suatu modifikasi yang tidak terdapat pada pterosaurus yaitu bulu. Pertumbuhan bulu ini memberi permukaan bagi sayap yang luas, ringan tetapi kuat. Bulu ini juga memberikan insulasi (penutup hangat) bagi tubuh, sehingga membuatnya lebih kecil namun dapat mempertahankan suhu tubuh yang relatif tinggi dan tetap meskipun di daratan beriklim dingin. Bulu menjadi penciri utama munculnya burung pertama.
 

Penemuan fosil Archeopteryx dalam batuan  zaman Jura merupakan salah satu contoh yang terbaik dari “mata rantai yang hilang”. Hewan ini mempunyai bulu, dengan demikian kita menyebutnya burung. Tetapi hubungannya dengan reptilia jelas. Sayap yang agak rudimeter mempunyai cakar, dalam mulut terdapat gigi dan mempunyai ekor yang panjang. Ciri-ciri reptilia ini tidak ditemui lagi pada burung-burung yang masih hidup. Meskipun hewan ini pada akhir zaman Mesozoikum sudah mantap, tetapi pada zaman Cenozoikum burung-burung ini mengalami radiasi adaptif yang luas. Jumlah spesies yang besar dan distribusinya yang luas membuktikan keberhasilan mereka..
Struktur dan fisiologi burung diadaptasikan untuk penerbangan yang efisien, yaitu Sayap menjadi paling utama, memungkinkan burung terbang jarak jauh untuk mencari makanan yang cocok dan berlimpah dan meloloskan diri dari pemangsa. yang efisien harus ringan dan kuat. Keringanan tubuh burung diperoleh dari bulu, tulang-tulang yang berongga dan gonad tunggal (pada betina) yang membesar dan aktif hanya selama musim kawin. Hilangnya gigi mengurangi berat kepala. Fungsi gigi ini dilaksanakan oleh empedal. Kekuatan dicapai dengan otot dada besar yang terpaut pada tulang dada yang sangat membesar. Mempunyai jantung beruang 4 dan efisiensinya memungkinkan perkembangan suhu tubuh yang tetap (homeotermi). Homeotermi juga memungkinkan laju metabolisme yang tinggi pada semua suhu lingkungan. Burung dapat tetap aktif dalam cuaca dingin. Laju metabolisme yang tinggi mencerminkan pelepasan energi yang cepat untuk terbang


MAMALIA


Mamalia pertama timbul pada akhir zaman Trias dari moyang terapsida. Mereka merupakan hewan kecil yang sangat aktif yang makanannya terutama terdiri atas insekta. Kemampuan yang aktif ini  berhubungan dengan kemampuannya untuk memelihara suhu tubuh yang tetap (homeotermi). Hal ini berkaitan dengan perkembangan jantung beruang 4 dan pemisahan sempurna dari peredaran darah oksigen dan sistemik. Konservasi panas tubuh dimungkinkan dengan perkembangan rambut. Sementara mamalia yang paling awal bertelur seperti moyang reptilia, anaknya setelah menetas diberi makan dengan susu yang disekresikan oleh kelenjar dalam kulit induknya.
Berlawanan dengan moyang reptilia, gigi mamalia mengalami spesialisasi  untuk memotong (gigi seri), menyobek (gigi taring), dan menggiling (geraham) makanannya. Bahan kelabu serebrum, yang ditutupi oleh bahan puti pada reptilia, tumbuh keluar diatas permukaan otak. Modifikasi ini mempunyai akibat yang jauh.
Evolusi mamalia yang paling awal berlangsung mulai beberapa jalur yang berbeda. Dari kelompok tersebut hanya tiga yang sampai sekarang masih hidup, yaitu:
1)   Monotremata, mamalia bertelur (Subkelas Prototheria)
2)   Marsupialia, mamalia berkantung (Subkelas Metatheria)
3)   Mamalia berplasenta (Subkelas Eutheria)
Masing–masing dibedakan dari cara merawat anak selama  masa perkembangan embrio. Monotremata tetap bertelur seperti moyang terapsidanya. Platipus paruh bebek dan pemakan semut berduri (ekidna) merupakan satu-satunya monotremata yang ada di bumi sekarang.
Pada marsupialia anak ditahan untuk jangka waktu yang pendek di dalam saluran reproduksi induk. Selama waktu yang pendek ini, makanan diperoleh dari kantung kuning telur yang tumbuh di dalam uterus. Tetapi anak itu dilahirkan pada tahap perkembangan yang sangat awal. Kemudian merayap ke dalam kantung yang terdapat di perut induknya dan melekatkan diri pada puting yang mengeluarkan air susu. Di sini perkembangan diselesaikan. Marsupialia yang paling awal mungkin mirip dengan oposum. Pada bulan maret 1982 ditemukan sisa-sisa fosil marsupialia Polydolops sebesar 25 cm di pulau Seymouz (ujung utara Tanjung Antartika).
Mamalia berplasenta mempertahankan anaknya di dalam uterus induk sampai berkembang dengan baik. Kuning telur hanya sedikit di dalam telur, tetapi membran extra embrionik itu membentuk tal pusar dan plasenta sehingga anak yang sedang bertumbuh mendapat makanannya langsung dari induknya.Selama kira-kira 70 juta tahun dalam era Mesozoikum mamalia berplasenta hanya diwakili oleh satu ordo. Akan tetapi, pada akhir epoh kedua, Eosin, dari era Cenozoikum, mamalia ini telah beradiasi menjadi paling sedikit 14 ordo yang berbeda.
Sumber :
Kimbal, John W. 1999. Biologi Jilid 3 Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga.